VE tidak bisa dilepaskan dari HoO, jadi jangan atas nama VE lalu kita membiarkan anak berteriak, memukul atau membentak kita, jika itu terjadi maka itu bukan VE namun sikap lembek. Untuk melakukan VE, kita harus kalem, mendengar dengan tulus namun tetap menjaga posisi sebagai otoritas (you have to respect yourself to earn your children’s respect)
VE sangat menekankan kita sebagai orangtua untuk melihat dunia dari sudut pandang anak. Anak lahir sebagai pribadi utuh, punya pikiran dan perasaan sendiri, kita harus menghargai itu. Contoh saat anak merasa takut, kita jangan bilang, “tidak usah takut”. Saat anak merasa “ada apa-apa”, jangan bilang “tidak apa-apa”. Dalam hal ini memang butuh seni, di satu sisi menerima sudut pandang anak apa adanya dan tidak memaksakan sudut pandang kita, tapi di sisi lain tetap tegas menegakkan aturan dan meminta anak menghormati otoritas kita sebagai orangtua
Ulangi adegan (reka ulang) atau berikan contoh bagaimana menerapkan aturan. Konsep dasar kebiasaan tidak bisa terbentuk hanya dengan dinasehati, karena selama anak tidak mengerjakan perilaku yang kita mau itu secara rill maka perilaku itu tidak akan terbentuk. Jadi teknik mengulangi adegan adalah membuat anak ingat apa yang harusnya dia lakukan
Kesimpulannya, VE digunakan saat anak bereaksi negatif karena satu hal yang tidak berjalan sesuai dengan maksud atau ekspektasi anak misalnya menangis saat terjatuh, memukul adik saat berebut mainan, kehilangan binatang peliharaan dsb. Kita sebagai orang tua bertugas membantu anak mampu mengatur emosinya dengan penyampaian tanpa harus merusak barang, menyakiti diri sendiri dan orang lain. Jadi bukan tidak boleh marah ya buibu, karena marah adalah bagian dari fitrah manusia yang hal ini juga ada pada anak-anak, sehingga kita harus buat reminder di kepala saat anak menunjukkan emosinya, buat yang baru mau mulai mempraktekkannya dan mungkin sering lupa bisa bikin note di rumah yang tempatnya mudak diakses, misal di kulkas atau ditembok ruangan yang sering kita habiskan waktu bareng anak. Stepnya:
Screening, amati apa penyebab anak marah, sedih atau sakit agar kita tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalahnya. Misal anak memukul adiknya karena adik mengambil mainan yang sedang kakak mainkan.
Bahasakan dengan memvalidkan dulu apa yang dialami anak lalu berikan empati atau pengertian bahwa kita memahami anak merasa demikian dan demikian lalu tekankan kesalahan yang tidak seharusnya dilakukan atau apa yang sebaiknya bisa dilakukan anak. Misal, "Iya kesel ya mainannya diambil adik", dengan merasa dipahami hal ini akan membuka akses kita untuk bisa masuk dalam masalah yang sedang dialami anak
Solusi, sampaikan hal yang seharusnya - sebaiknya anak lakukan. Misal, "Tapi memukul adik itu tidak boleh sayang, kakak bisa bilang dengan baik ke adik tidak boleh mengambil mainan kakak tanpa ijin", sambil panggil adik dan sampaikan hal yang sama ke adik ( (di depan kakak) soal harus minta ijin kakak dulu jika mau mengambil mainan milik kakak
Tenang, artinya saat kita memvalidasi emosi anak harus dalam keadaan tidak emosi juga ya buibu, jika hal itu terjadi ada baiknya kita yang validasi emosi kita dulu hingga tenang baru kita bisa bantu anak kita memvalidasi emosinya. Karena bagaimana kita bisa membantu anak memvalidasi emosinya jika kita sendiri belum selesai dengan emosi kita, hal itu bisa sangat fatal dan malah merobohkan HoO yang sedang kita bangun dengan anak
Tegas, ketika kita berempati bukan berarti kita jadi mengabaikan aturan yang telah disampaikan sebelumnya atau tentang baik-buruk, benar-salah. Hal itu menjadi pembeda kita tegas atau lembek pada anak, nah... dari lembek ini malah akan beruntut pada sikap tidak konsisten dan justru malah akan membuat anak bingung, "Sebenarnya yang benar itu yang mana sih?", "Oh gak papa ya begini?" terus kita juga malah jadi bingung dan kesal jika hari lain dikejadian yang sama anak melakukan pembenaran yang tidak seharusnya. Nah?!
Komentar
Posting Komentar